Oleh: Mahyudin Rumata
Enam belas oktober setiap tahun, di peringati sebagai Hari Pangan Sedunia. Tahun 2016, Food and Agriculture Organization (FAO) menetapkan Tema Internasional adalah Climate Is Changing, Food Agriculture Must Too. Indonesia sendiri melalui focal point FAO yakni kementerian pertanian menetapkan tema Nasional “Membangun Kedaulatan Pangan Berkelanjutan Mengantisipasi Era Perubahan Iklim”.
Perubahan iklim telah menjadi discoursus internasional, Indonesia sejak 1997 resmi meratifikasi Protokol Kyoto. Pemberlakuan protokol Kyoto menjadi langka mencapai kesepakatan protokol baru konferensi perubahan iklim ke 21 di paris, Prancis akhir 2015 lalu. Melalui Rahmat Witoelar yang bertindak sebagai ketua delegasi RI menyatakan bahwa posisi Indonesia ingin menegaskan kembali komitmen semua pihak untuk ambisi pra 2020 dan inisiatif lebih lanjut meningkatkan skala praktik terbaik dalam pengunaan lahan untuk mitigasi perubahan iklim dan upaya adaptasi.
World Food Day 2016 memiliki nilai penting bagi segenap eleman bangsa agar serius memikirkan ancaman perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Perubahan cuaca, perubahan pola hujan, frekuensi anomali cuaca extreme yang mengakibatkan pergeseran musim tanam, ini akan berdampak pada produktivitas lahan. Efek domino perubahan iklim akan merobohkan bangunan ketahanan pangan yang membuka keran impor beras dan pangan lainnya.
Malapetaka akibat pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim mengancam semua mahluk hidup tanpa kecuali. Di indonesia, perubahan atas fenomena perubahan iklim sangat Nampak terjadi, itu terasa pada musim hujan dan kemarau tidak seperti biasanya. Berdasarkan perkiraan sejumlah suhu bumi saat ini meningkat 0,5 derajat celcius dari level 150 tahun silam. Kenaikan akan terus meningkat jika tidak ada niat baik Negara maju menurunkan laju emisi. Kenaikan permukaan laut telah terasa dan Nampak di sejumlah Negara tak terkecuali indonesia. Scenario Panel Internasional antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPPC), kenaikan suhu bumi hingga 6 derajat celcius berpotensi menaikkan suhu laut hingga 1 meter pada tahun 2100, puluhan juta penduduk terancam migrasi karena banjir, kekurangan air dan iklim extreme.
Adaptasi dan Mitigasi
Wacana kedaulatan pangan tidak hanya sekedar live service, upaya mitigasi dan adaptasi wajib menjadi komitmen bersama semua elemen dan di lakukan secara terintegrasi dalam rencana dan program pembangunan. Indonesia dengan karakteristik wilayah kepulauan memiliki keanekaragaman hayati dan bahari yang fantastis, namun dengan fenomena perubahan iklim mengancam para petani, nelayan dan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rata-rata mata pencahariannya di sector pertanian dan perikanan yang peka terhadap iklim. Aktivitas penghidupan dari sector-sektor yang rentan terhadap iklim seperti pertanian dan perikanan akan sangat terpukul dan merasakan dampak perubahan iklim yang signifikan.
Dengan melihat fakta-fakta perubahan iklim yang sudah nyata dan dampaknya yang sudah di rasakan perlu segera di lakukan langka-langka adaptasi maupun mitigasi. Kejadian cuaca yang extreme, naiknya permukaan air laut, naiknya suhu udara dan suhu air laut. Jika mengacu pada laporan UNDP, ada 4 prinsip dalam proses adaptasi perubahan iklim yaitu; menempatkan adaptasi dalam konteks pembangunan, membangun pengalaman beradaptasi untuk mengantisipasi variebilitas perubhan iklim, memahami bahwa adapatasi berlangsung dalam level yang berbeda terkhusus di level lokal, dan memahami adaptasi adalah proses yang terus berjalan.
Pangan Lokal Sebagai Alternatif
Perubahan Iklim akan menyebabkan terjadinya kerawanan pangan, tentu akan mengakibatkan penurunan produksi makanan dan musiba kelaparan. Situasi iklim yang tidak menentu menyebabkan produktivitas petani terutama beras sebagai makanan pokok (baca doktrin orba), ini terlihat dari komsumsi beras orang Indonesia. Bila membandingkan dengan komsumsi beras di antara Negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand, komsumsi beras perorang pertahun di Negara tersebut hanya berkisar 65-70 kg. sedangkan di Indonesia, komsumsi beras perorang pertahun 130-140 kg. Fakta tersebut jelas mengambarkan ketergantungan penduduk Indonesia pada beras sangat besar. Ini mesti menjadi catatan pemerintah bahwa potensi pangan lain selain beras penting untuk di olah sebagai bahan substitusi beras. Potensi pangan di sector kelautan dan pangan lokal (sagu, ubi-ubian dll) kiranya menjadi solusi mengatasi terjadinya kelangkaan pangan terutama beras.
Menengok trend volume importasi beras secara komulatif terus mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Demikian dapat terkonfirmasi bahwa upaya mencapai kedaulatan pangan jauh panggang dari api. Janji kedaulatan pangan oleh pemerintah kemungkinan gagal tercapai, masih terdapat fakta ketimpangan antara kebijakan pemerintah dan situasi factual.
So, kapan Indonesia daulat pangan? Kedaulatan pangan terlihat seperti retorika tanpa aksi mewujudkannya, mestinya segera di cari jalan keluar. Kelangkaan pangan beras tidak saja berdampak pada runtuhnya sebuah rezim politik kelak. Namun juga meruntuhakan martabat kita sebagai sebuah bangsa yang di juluki Negara agraris. Sejauh ini, pemerintah telah menawarkan jalan keluar untuk kelangkaan pangan beras, tetapi tawar tersebut ternyata mengunakan resep lama yang pernah di praktekkan pada rezim terdahulu yang terbukti gagal merealisasikan kedaulatan pangan beras berkelanjutan di tahun 1984.
Politik pangan Indonesia dengan beras sebagai makanan pokok utama, menyebabkan angka ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok mencapai 100 persen, sehingga kebijakan impor setiap tahun selalu ada, ini ironi di Negara yang kaya sumber pangan. Solusinya adalah mencari alternative pangan lain selain beras, mungkin saja pangan lokal menjawab ketergantungan pada beras dan solusi mewujudkan kedaulatan pangan.
(*) Penulis adalah Ketua PB HMI Bidang Pertanian dan Kelautan PB HMI, Pengiat Issue Masyarakat Adat, Lingkungan dan Sumberdaya Alam
“Soal pangan adalah tentang hidup matinya bangsa”, pengalan kalimat ini di sampaikan oleh Presiden RI ke 1, Soekarno saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, kini Institute Pertanian Bogor.