Oleh: Umar Sulaiman DM
Pasca penetapan Setya Novanto (Ketua DPR RI) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 17 Juli 2017, yang diduga kuat melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara 2,3 triliun dari nilai proyek e-KTP 5,9 triliun.
Status tersangka yang disandang Setnov seakan-akan mengubah konfigurasi politik bersifat nasional, yang telah menghiasi media elektronik dan cetak.
Penetapan Setnov sebagai tersangka oleh KPK telah menambah daftar panjang para pelaku korupsi, yang berasal dari kalangan Partai Politik, yang menurut data KPK tahun 2016 sangat fantastis dan mencengangkan. Berdasarkan data ini, korupsi dalam konteks politik telah berlangsung secara massif, terencana, dengan logika yang sangat cerdas untuk merampok, merampas uang rakyat melalui modus operandi yang terkesan licik.
Setya Novanto adalah salah aktor politik yang sarat pengalaman dengan beragam jabatan mentereng yang disandang. Sosoknya terkesan ambigu, tetapi memiliki feeling politik yang luar biasa jeniusnya dan malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia. Kejeniusan beliau telah teruji melalui sinetron Papa Minta Saham yang banyak menyedot perhatian ribuan pemirsa setiap televisi Indonesia. Akhir cerita dari sinetron Papa Minta Saham yakni pencopotan dirinya dari jabatan prestisius sebagai Ketua DPR RI.
Namun para pemirsa setia sinetron Papa minta saham, dibuatnya berdecak kagum dengan kelihaian adiluhungnya yang akhirnya lolos dari lubang jarum karena tidak cukup bukti yang dapat menyeretnya ke ranah hukum. Sinetron Papa Minta Saham berlanjut dengan lobby politik yang dilakukannya sehingga beliau mengambil kembali pimpinan Ketua DPR RI dari tangan Ade Komaruddin (Akom).
Sekalipun secara empirik, beliau teruji dan lolos dari hukuman pada sinetron Papa Minta Saham, namun takdir dan feeling politiknya harus berakhir dengan ditetapkannya sebagai tersangka. Adalah benar sebuah adagium yang mengatakan “” من حفر حفرة و قع فييها barang siapa menggali lubang, pasti suatu akan terperosok ke dalamnya. Adagium ini mengandung tamsil, bahwa kejahatan yang diorganisir seapik apa pun pasti suatu saat akan tercium bangkainya.
Kasus korupsi proyek e-KTP ternyata merupakan drama eros yang memberikan sinyal petaka dan ending pahit yang mungkin mengakhiri petualangan politik Setnov di peta perpolitikan Indonesia, ataukah ada kemungkinan takdirnya akan kembali berbuah manis dengan melakukan perselingkuhan politik vis a vis melalui intervensi politik penguasa sebagai kompensasi atas dukungan partainya kepada penguasa saat ini.
Rakyat pasti menunggu kejutan-kejutan di waktu injuri time, apakah ada kemurahan Tuhan atas kasus yang menjeratnya atau memang takdirnya telah berlaku sebagaimana dalam lirik lagu Dian Pisesa. Tentu, kita berharap bahwa negeri ini, bukan milik para bedebah yang seenak syahwatnya memproduksi kejahatan dan kebohongan untuk sebuah ambisi politik yang tak beretika dan tak bernalar.
Korupsi Politisi dan Tergerusnya Kepercayaan Masyarakat
Dalam teori politik kekuasaan, menurut Dieter Haller dan Cris Shore korupsi dianggap sebagai gejala ketidakstabilan sosial (social pathology) dan kurang berfungsinya disiplin sosial (social discipline) sehingga dampaknya secara masif telah merambah kehidupan manusia. Gheoferry M. Batchelder, berpendapat bahwa korupsi jika ditinjau dari nilai-nilai moralitas memiliki pengaruh yang sangat buruk dan merupakan bentuk erotis yang bersifat palsu dan manipulatif.
Korupsi adalah gambaran keburukan moral manusia yang amat vulgar yang dapat merusak sistem keyakinan yang dianut oleh manusia. Dengan demikian, korupsi adalah bentuk tindakan tidak waras, dan mabuk yang hanya mengutamakan kenikmatan palsu, hanya mengejar kepuasan badaniah, ingin memperkaya diri, dan bermimpi mengejar popularitas dan reputasi yang bersifat sementara. Ia adalah bentuk predator yang bertentangan dengan nilai-nilai cinta, kesetian, keluhuran, kebenaran, dan upaya untuk meraih keuntungan pribadi adalah tindakan paradoks yang merusak kondisi jiwanya.
Kenyataan paradoksal ini mengilhami Frank Tanembaun bergumam “crime is eternal as eternal as society” (kejahatan adalah abadi, seabadi kehidupan masyarakat).
Simultan dengan analisis di atas, John Girling sampai pada sebuah tesis bahwa korupsi adalah tindakan kriminal dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya. Karena dampaknya begitu akut bagi kehidupan kenegaraan, sehingga ia menjadi isu global dan internasional yang ramai diperbincangkan dalam media massa baik lokal, nasional, maupun internasional.
Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat dituntaskan, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya faktor budaya, intervensi kekuasaan, rekayasa politik, perselingkuhan antara eksekutif, yudikatif dan legislatif maupun kurang gregetnya lembaga pemberantasan dalam memainkan perannya, serta lemahnya kesadaran moral dari para pelaku korupsi, seakan-akan menjadi potret buram upaya pemutusan virus dan mata rantai korupsi di Indonesia.
Di samping itu, perangkat dan instrumen hukum yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi masih setengah hati, sehingga upaya-upaya humanis tersebut hanya menjadi wacana semata, di mana progresivitasnya masih jauh dari harapan.
Hal ini berdasarkan data yang dirilis oleh Corruption Perceptions Index 2014, di mana Indonesia, Argentina dan Djibouti adalah tiga negara berkembang yang menempati urutan rangking ke-107 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Dalam data tersebut juga diungkapkan bahwa korupsi menempati urutan teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia.
Data ini menyebutkan tingkat penyimpangan dan penyalahgunaan korupsi sangat tinggi dan akut yang dapat mengancam keberlangsungan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan data di atas, dapatlah dipahami bahwa potensi korupsi yang terjadi di Indonesia telah terjadi begitu masif dengan melibatkan berbagai kalangan, baik dari ekskutif, legilastif, yudikatif, partai politik, kepolisian, koorporasi, maupun lembaga-lembaga swasta lainnya, sebagaimana hasil penelitian Ruth Zschoche.
Asumsi faktual ini didukung oleh hasil Laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tiga tahun terakhir yakni 2014 sampai 2016, memperlihatkan intensitas tindakan kejahatan korupsi di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, baik dari sisi kuantitas, pelaku, maupun modus operandi yang diperankannya.
Upaya untuk mengetahui tindakan pidana korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara, dapat dianalisis melalui kinerja KPK dalam membongkar gurita korupsi yang berlangsung di Indonesia. Berdasarkan pelaku, tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi dilakukan oleh berbagai strata masyarakat, di antaranya para politisi, pejabat publik, hakim, pihak swasta, dan lain sebagainya.
Merujuk pada data KPK tahun 2014 ditemukan beberapa bentuk antara lain; berdasarkan lembaga, yakni lembaga legislatif (MPR/DPR sebanyak 6 perkara, kementerian/lembaga 7 perkara, DPD 2 perkara, dengan jumlah perkara 15). Lembaga eksekutif (Kementrian Koordinator 2, Kementerian Sekretariat Negara 58 perkara, dan kementerian lain sebanyak 555 perkara, sehingga total 614 perkara. Sedangkan lembaga yudikatif sebanyak 381 perkara, lembaga independen sebanyak 65 perkara, dan BUMN/BUMD sebanyak 795. Jadi, total keseluruhannya sebanyak 2224 perkara.
Sedangkan berdasarkan wilayah, yakni pemerintah pusat, propinsi dan daerah sebanyak 2224 perkara. Adapun berdasarkan status, yakni milik negara sebanyak 751 perkara, milik penerima sebanyak sebanyak 81 perkara, sebagian milik negara sebanyak 79 perkara, masih dalam proses sebanyak 276 perkara, dan Non-SK sebanyak 1037 perkara. Jadi, jumlah keseluruhan sebanyak 2224 perkara.
Pada tahun 2015 tindak pidana korupsi berdasarkan Laporan Tahunan KPK, dapat diketahui beberapa bentuk tindak pidana korupsi; antara lain, 1) berdasarkan modus yang meliputi pengadaan barang dan jasa sebanyak 14 perkara, perizinan 1 perkara, penyuapan sebanyak 38 perkara, pungutan 1 perkara, penyalahgunaan anggaran 2 perkara, dan TPPU 1 perkara, sehingga totalnya sebanyak 57 perkara. 2) berdasarkan jabatan, yakni anggota DPR/DPRD sebanyak 19 perkara, kepala pemerintahan/kelembagaan 3 perkara, gubernur 4 perkara, walikota/bupati dan wakil 4 perkara, eselon I, II, dan III 7 perkara, hakim 3 perkara, swasta 18 perkara, dan lain-lain 5 perkara. Jadi, total keseluruhan perkara sebanyak 63 perkara. 3) Berdasarkan instansi, yakni DPR RI 3 perkara, kementrian 21 perkara, BUMN/BUMD 5 perkara, pemerintah propinsi dan pemerintahan kota/kabupaten sebanyak 28 perkara. Jadi, secara keseluruhan sebanyak 57 perkara. 4) Berdasarkan wilayah secara total sebanyak 468 perkara. Dengan demikian, total keseluruhan dengan beragam bentuk tindak pidana korupsi sebanyak 645 perkara.
Adapun tahun 2016 tindak pidana korupsi dengan merujuk pada Laporan Tahunan KPK, ditemukan beberapa bentuk tindak pidana korupsi, antara lain; 1) berdasarkan modus yang meliputi pengadaan barang dan jasa sebanyak 14 perkara, perizinan 1 perkara, penyuapan sebanyak 79 perkara, pungutan 1 perkara, penyalahgunaan anggaran 1 perkara, dan TPPU 3 perkara, sehingga totalnya sebanyak 99 perkara. 2) berdasarkan jabatan, yakni anggota DPR/DPRD sebanyak 23 perkara, kementrian /kelembagaan 2 perkara, gubernur 1 perkara, walikota/bupati dan wakil 9 perkara, eselon I, II, dan III 10 perkara, hakim 1 perkara, swasta 28 perkara, dan lain-lain 25 perkara. Jadi, total keseluruhan perkara sebanyak 99 perkara. 3) Berdasarkan instansi, yakni DPR RI 15 perkara, kementrian 39 perkara, BUMN/BUMD 11 perkara, pemerintah pusat 13 perkara dan pemerintahan kota/kabupaten sebanyak 21 perkara. Jadi, secara keseluruhan sebanyak 99 perkara. 4) Berdasarkan wilayah secara total sebanyak 99 perkara. Dengan demikian, total keseluruhan dengan beragam bentuk tindak pidana korupsi sebanyak 396 perkara.
Berdasarkan sisi kuantitas tindak pidana korupsi, maka menurut Laporan Tahunan KPK 2014, telah terjadi tindak pidana korupsi sehingga dilakukan penyelidikan sebanyak 80 kasus, dilanjutkan dengan penyidikan sebanyak 95 kasus, penuntutan 77 kasus, yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracth) sebanyak 40 kasus, dan yang terakhir eksekusi sebanyak 48 perkara. (Laporan Tahunan KPK, 2014: 50).
Tahun 2015 KPK juga telah melansir laporannya, di mana telah terjadi kasus tindak pidana korupsi yakni pada tahap penyelidikan sebanyak 87 kasus, penyidikan sebanyak 57 kasus, penuntutan sebanyak 62 kasus, yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht sebanyak 37 kasus), dan eksekusi sebanyak 38 kasus. (Laporan Tahunan KPK, 2015: 106). Adapun tahun 2016 KPK juga merilis laporan tahunan, yakni pada tahap penyelidikan sebanyak 96 kasus, tahap penyidikan sebanyak 140 perkara, tahap penuntutan sebanyak 111 perkara, yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracth) sebanyak 70 perkara, dan tahap eksekusi sebanyak 81 perkara. (Laporan Tahunan KPK, 2016: 182).
Mencermati proses tindak pidana korupsi dan upaya-upaya KPK dalam membongkar sekaligus menuntaskan jaringan, modus, dan bentuk korupsi, maka terpapar dengan jelas bahwa fenomena korupsi berlangsung secara sistematis, terencana, dan dalam skala yang luar biasa.
Kenyataan empiris ini seolah-olah membenarkan tesis Edward Shils yang mengatakan bahwa korupsi adalah tacit knowledge (pengetahuan diam-diam) yang mengerangkai dan menggerakkan hampir seluruh kesadaran kolektif manusia. Disebut pengetahuan diam-diam karena orang enggan menyebut-nyebut keberadaan korupsi, tetapi ia menerimanya sebagai sesuatu yang lumrah.
Ada ambiguitas, di satu sisi orang menyadari bahwa korupsi itu salah, tetapi di sisi lain ia tidak bisa tanpanya. Bahkan, orang yang tidak mempraktekkannya dianggap tidak lumrah. Korupsi adalah “kebenaran dalam kesalahan”.
Korupsi dalam realitas empiriknya, menurut Masdar Hilmy telah berkembang begitu massif dan beranak pinak, karena didukung oleh beberapa mitos yang secara diam-diam diimani dan diterima sebagai sebuah kebenaran. Pertama, barangsiapa yang mau jujur pasti hancur.
Di negeri para maling kejujuran sudah menjadi barang aneh sekaligus langka. Orang yang hidup jujur tak ubahnya seperti menggenggam bara api. Hanya dua kemungkinan yakni terbakar atau selamat tetapi membuangnya. Orang yang bertahan dalam kejujuran akan tergilas oleh sistem yang korup. Mampu bertahan hidup dengan kejujuran sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Tetapi jangan berharap orang semacam ini bisa mengubah sistem korup. Alih-alih bisa mengubah sistem, tidak hanyut dalam sistem yang korup saja sudah hebat.
Kedua, korupsi adalah seni. Korupsi sudah menjadi seni dan telah menjadi bagian budaya bangsa. Ketika korupsi dianggap seni, maka nilai kejujuran terkesan dimanipulasi. Seni dalam korupsi membutuhkan talenta khusus, yang diperlukan untuk keperluan melobi atau pendekatan terhadap otoritas hukum, terlebih lagi seni dalam menjaga kerahasian. Karena itu, jangan heran jika korupsi sering dilakukan secara bersama-sama, melibatkan sindikat rahasia dan tertutup. Sebab, jika salah satu anggota sindikat merasa tidak puas dengan pembagian hasil korupsi, dia bisa menerapkan strategi zero sum game (mati satu, mati semua).
Ketiga, korupsi adalah simbol kecerdasan. Kecerdasan itu dapat diukur dengan (1) sejauhmana ia mampu menggunakan kecerdasannya untuk membocorkan uang negara sebanyak-banyaknya, (2) mampu menghabiskan sisa anggaran sebelum tutup tahun, (3) menyusun anggaran fiktif atau mark-up proyek tertentu, dan (4) menggunakan link kekuasaan untuk memperlancar upaya korupsinya. Prinsipnya, tindak korupsi membutuhkan kecerdasan tinggi karena harus mampu membaca celah-celah hukum. Kenyataannya, hampir semua koruptor kelas kakap adalah orang-orang cerdas yang tidak tersentuh oleh hukum. Sebaliknya, orang yang tidak bisa menghabiskan sisa anggaran dan tidak bisa membuat anggaran fiktif akan dianggap bodoh.
Keempat, mitos aji mumpung. Mitos ini umumnya berlaku bagi siapa pun yang sedang menggenggam kekuasaan, terutama pejabat. Mitos ini didorong oleh kekhawatiran berlebihan akan hilangnya kekuasaan yang digenggamnya. Karena itu, jabatan adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri, sebab tidak selamanya bisa jadi pejabat. Kecenderungan modus dan sifat korupsi seperti ini, menjadi bukti bahwa dalam diri manusia terdapat apa yang disebut oleh Erich Fromm sebagai syndrome of decay yakni gejala pembusukkan akibat virus kejahatan yang begitu dominan sehingga ia dianalogikan seperti kanker ganas yang dapat mengancam keselamatan hidup manusia. Hal ini juga diafirmasi oleh Cak Nur bahwa korupsi itu terjadi karena disebabkan krisis moral yang menimpa masyarakat modern yang telah jauh dari basis primordial-eksistensialisnya.
Cak Nur pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dia mengatakan dengan nada gundah, “Jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas”. Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, barangkali Cak Nur tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban sangat ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya di atas, Cak Nur secara sadar tengah meratapi absennya etos politik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Jika ditelusuri secara cermat bahwa munculnya tindakan korupsi ditengarai terjadi pada beberapa aspek, yakni 1) budaya dan sumber kekuasaan versi Johan Galtung dengan merujuk teori Lord Action “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, 2) aspek ekonomi oleh Gulnaz Sharafutdinova, Marco Pani, Peter Fleeming dan Stelios C. Zyglidopoulos, 3) aspek politik oleh Robert Klitgaard, Michael Jhonston, , Isaac Ehrlich dan Francis T. Liu. Dengan demikian, mengguritanya tindak pidana korupsi menurut Max Weber, disebabkan oleh birokrasi yang bersifat patrimonial yang memberikan peluang kepada penguasa untuk memuluskan hasrat kekuasaannya.
Kecenderungan ini akan melahirkan apa yang disebut oleh Jean Baudlirrad sebagai “perfect crime”, dengan tingkat “simulacra of crime” dan gejala “invisibility” yang sangat tinggi, sehingga akan menjelma menjadi institusi semiotik melalui tanda-tanda palsu (pseudo sign), tanda dusta (false sign), dan tanda artificial (artificial sign). Tanda-tanda (pengadilan, tersangka, barang bukti, saksi sebagai elemen semiotik) kini digunakan untuk mengaburkan realitas, memalsukan kebenaran dan keadilan. Di samping itu, terdapat faktor lain yakni fenomena “relativisme budaya” oleh Phyillis Dininio dan Sah John Kpundeh, “kesenjangan budaya” oleh William F. Ogburn, dan budaya tradisional oleh Frans Magnis-Suseno, sehingga keberadaan korupsi selalu beranak-pinak dari tahun ke tahun, yang secara empirikal-faktual terjadi dengan masif pada rezim Soeharto dan sampai kepemimpinan saat ini.
Korupsi ini telah menjadi budaya dan seni, sehingga pesonanya mengundang selera para pemujanya. Di antara para pemuja yang mewarnai kehidupan politik Indonesia adalah para politisi dari partai-partai besar yang mempunyai reputasi moral dan memiliki integritas untuk mengawal terjadinya tindakan korupsi. Para politisi tersebut berasal dari Partai Demokrat, PDI Perjuangan, Golkar, PKS, PPP, Hanura, dan Nasional Demokrat (NASDEM), dan mungkin akan muncul politisi dari Partai Kebangsaan Bangsa. Sedangkan dalam kasus e-KTP juga menyeret 37 anggota DPR yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi, yang melibatkan politisi dari partai-partai besar, yakni Demokrat, PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem, PKS, PKB, PAN, dan puncaknya dengan ditetapkannya Ketua Umum Partai Golkar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penetapan Setnov ini seakan-akan melapangkan jalan untuk membongkar jaringan setan korupsi para politisi lainnya dengan ragam latar belakang partainya. Potensi korupsi para politisi ini, menguatkan temuan dan hasil rilis dari Tranparency International, 2017 dengan prosentasi 60%, yang menempatkan DPR RI sebagai lembaga terkorup di Indonesia tahun 2017.
Menjamurnya tindak pidana korupsi yang banyak melibatkan para politisi dari partai-partai besar mengindikasikan bahwa “makhluk korupsi” ini selalu menjadi target manusia untuk meraih keinginan-keinginan subyektif, sekalipun keinginan-keinginan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai moral yang terdapat dalam diri manusia.
Meminjam teori Piramida Kebutuhan Abraham Harold Maslow, bahwa yang melatarbelakangi terjadinya tindakan korupsi karena adanya tuntutan kebutuhan hidup yang tidak dapat terhindarkan lagi apabila seseorang tersebut pada puncak kekuasaan. Maslow meyakini bahwa kebutuhan ini mirip dengan insting manusia sehingga memainkan peran utama dalam perilaku manusia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa setelah kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi, maka muncul keinginan berikutnya yang lebih besar sebagai bukti aktualisasi diri. Dan proses aktualisasi diri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat material dalam konteks tertentu menjadi sesuatu yang alamiah, yang dalam pandangan Maslow karena disebabkan oleh adanya tekanan sekaligus dorongan untuk mengembangkan potensialitas (sifat biologis) kemanusian. Inilah takdir biologis dan kodrat manusia yang tak terhindarkan lagi karena manusia secara esensial-natural memiliki batin yang bengkok.
Kecenderungan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para politisi tentu membawa konsekuensi-konsekuensi yakni akan ditinggalkan oleh basis pemilihnya, karena telah terjadi shifting paradigm atas nilai-nilai luhur yang menjadi platform partai masing-masing, yang pada gilirannya dapat melacuri nilai-nilai etis yang diembannya.
Pandangan ini sejalan argumentasi Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ atau kepentingan umum.
Simultan dengan ini kecenderungan politisi partai yang memperlihatkan arogansi politik dan berorientasi kepada kepentingan sesaat dengan melakukan tindakan-tindakan yang mencoreng integritas partai akan menjadi saham mondial terjadinya penurunan pencapaian suara di Pemilu Legislatif.
Bergesernya perilaku politisi yang cenderung pragmatis dan berorientasi kepada hal-hal yang bersifat subyektif dan absurd, seakan-akan telah mengkangkangi nilai-nilai demokrasi. Padahal menurut Nico Harjanto keberadaan partai politik (parpol) menjadi conditio sine qua non bagi bekerjanya mekanisme demokrasi.
Sebagai pengorganisasian warganegara yang memiliki cita-cita politik yang sama dan bertujuan untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan negara serta mengisi posisi-posisi politik di semua tingkatan, parpol merupakan the backbone of democracy. Parpol menjadi jembatan penghubung politis antara pemilik kekuasaan, yaitu rakyat, dengan pemerintah sebagai pemegang mandat kekuasaan.
Eksistensi parpol yang sangat sentral dalam demokrasi ini tentunya tidak terlepas dari berbagai peran sangat penting yang diembannya dalam mengkonsolidasikan demokrasi melalui pelaksanaan fungsi-fungsinya. Argumentasi ini, menurut penulis harus menjadi mainstream dan platform, sehingga upaya-upaya untuk membumikan fungsi dan perannya sebagai katalisator demokrasi menjadi tugas konstitusional untuk diperjuangkan.
Lebih lanjut Nico Harjanto mengatakan parpol yang harusnya bisa menyiapkan kader-kader terbaik untuk mengisi jabatan-jabatan publik ternyata sebagian besar diisi oleh orang-orang yang hanya memiliki modal kekuasaan dan kedekatan dengan pimpinan. Oleh karenanya tidak mengherankan jika sumber daya manusia di parpol dapat dikatakan buruk kualitasnya sebab meritokrasi ataupun sistem career pathing tidak berjalan baik. Partai politik juga merupakan lembaga demokrasi yang paling ambigu dan problematis.
Ambigu karena parpol tidak bisa sepenuhnya dianggap atau diperlakukan sebagai institusi publik atau terlebih sebagai institusi privat. Parpol tidak mendapatkan pendanaan utama maupun fasilitas dan asistensi personalia dari negara, sehingga kedudukannya sebagai institusi publik tidak kuat. Sebaliknya, parpol juga tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai institusi privat, sebagaimana layaknya yayasan, koperasi, atau perusahaan media massa karena parpol bergerak di bidang kekuasaan dan melibatkan masyarakat terbuka.
Ketidakjelasan ini berpengaruh terhadap pengaturan parpol pada umumnya, dan pada pengaturan tentang political financing, party financing, campaign financing, dan akuntabilitas parpol pada khususnya.
Kondisi ambigiutas-problematis yang dialami parpol dan para politisi di atas, seakan-akan menjadi pintu masuk untuk mencari pendanaan bagi partai, sekaligus mencari modal untuk menyiapkan diri dalam menghadapi kontestasi pemilihan legislatif pada periode berikutnya. Dengan modus semacam inilah menurut penulis telah menghasilkan cara berpikir dan bertindak yang bersifat paragmatis baik oleh parpol-parpol dan para politisinya untuk melakukan tindakan korupsi agar partainya tetap eksis dan dapat mendulang suara yang signifikan dalam setiap momentum kontestasi, baik pemilihan legislatif maupun pemilukada.
Fenomena tersebut di atas, tentunya melahirkan resistensi masyarakat terhadap para politisi dan partainya yang terlibat tindak pidana melalui gerakan Golput (golongan putih). Menurut Arbi Sanit angka golput dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu, pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua, menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Berdasarkan hasil penelitian Anton Yuliono, tentang Kepercayaan Masyarakat pada Partai Politik dengan obyek penelitian di Kota Surabaya, disimpulkan bahwa masyarakat tidak akan memiliki politisi dan partai politik karena terlibat dalam tindak pidana korupsi cukup tinggi sebesar 67%. Di samping itu, masyarakat pada umumnya menolak menggunakan hak pilihnya karena menganggap Pileg maupun Pemilukada hanyalah rutinitas politik belaka yang menguntungkan partai politik dan para politisinya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Pramono Anung melalui risetnya, yang menyimpulkan bahwa motivasi politik yang sering mengendap dalam pikiran para politisi adalah disebabkan oleh faktor ekonomi (uang) dan mencari nafkah untuk kepentingan pribadinya, bukan untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang telah memilihnya.
Sikap seperti ini, lanjutnya, mengakibatkan politisi DPR banyak yang bersikap pragmatis saat menjalankan fungsi dan tugas sebagai anggota dewan. Dengan demikian, DPR tidak lagi menjadi tempat bernaungnya orang-orang beridealisme tinggi, juga bukan tempat bagi orang-orang yang ingin membuat peraturan perundangan serta pihak-pihak yang mau membangun sistem yang lebih baik. Mengapa kecenderungan ini bisa terjadi? Menurut mantan Sekjen PDI Perjuangan, karena sistem pemilu proporsional terbuka yang menyebabkan mahalnya biaya pemilu. Hasil penelitiannya menyebutkan, biaya yang dikeluarkan seorang caleg untuk sampai terpilih menjadi anggota DPR kisaraannya 2-6 miliar rupiah. Bahkan ada caleg yang pengeluarannya mencapai Rp 22 miliar untuk terpilih menjadi anggota DPR (Koran Online, “Korupsi: Potret Buram Demokrasi”, 06 Maret 2013). Dengan demikian, berdasarkan besarnya biaya yang harus dipersiapkan oleh setiap caleg untuk meraih kursi DPR RI, maka menurut penulis kecenderungan untuk melakukan korupsi adalah sebuah keniscayaan yang harus dibayar mahal.
Oleh karena itu, korupsi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem politik, sehingga eksistensinya selalu menjadi perdebatan krusial dalam konteks, boleh atau tidaknya korupsi menjadi basic need dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
• Alumnus Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.