Oleh : Rahmad Nasir (Tokoh muda Ternate Alor)
Saya tidak menyangka kampung saya Pulau Ternate khususnya Desa Ternate Umapura mendapat kunjungan dari beberapa Bule yang menanyakan tanah milik warga untuk dibeli. Saya trauma dengan info beberapa tanah di tempat lain yang mungkin sudah menjadi milik para bule tersebut. Beberapa di antaranya dikontrak untuk beberapa tahun ke depan. Jika untuk sekedar kontrak dalam waktu yang relatif singkat tidaklah mengapa, namun jika dikontrak dalam kurun puluhan tahun maka itu berpotensi menjadi bencana tersendiri bagi pribumi.
Saya teringat dengan bunyi pasal 33 UUD 1945 yang menjadi nyanyian wajib saat berdemonstrasi ketika bermahasiswa dulu. Saya begitu takut dengan tanah adat/ulayat yang memiliki konsekuensi metafisik jika dipergunakan tidak sebagaimana mestinya.
Saya khawatir jika menjual tanah pribadi untuk asing adalah bentuk penghianatan terhadap bangsa Indonesia. Mungkin kini regulasi konstitusional Negara ini telah memberi kelonggaran kepada asing untuk memiliki tanah di Indonesia. Secara hukum jual beli sah-sah saja jika tanah milik seseorang pribumi dijual kepada warga asing, namun secara etis sungguh sangat disayangkan.
Bagi saya, sejengkal tanah NKRI dijual buat asing sama saja menjual Negara ini dan menggerus nasionalisme dalam diri. Arus globalisasi semakin kencang terombang-ambing membuat semua bangsa dan Negara dapat bercampur baur dalam segala situasi. Dunia semakin sempit dan kohesifitas antar warga dunia begitu dekat sehingga memaksa warga dunia harus memiliki bekal hidup yang memadai berupa keterampilan, kecerdasan serta konektifitas yang baik.
Kita memang tidak bisa menolak globalisasi, kita tidak bisa menolak pesatnya kemajuan teknologi dan informatika, kita juga tidak bisa menolak investasi yang positif bagi kemajuan ekonomi rakyat Indonesia. Kendati demikian, kita harus tetap waspada dengan tindakan kuratif terhadap segala kemungkinan yang bisa saja terjadi akibat pergaulan dunia yang semakin marak.
Akhir-akhir ini, NTT khususnya Alor semakin dikenal memiliki destinasi wisata yang indah sehingga membuat warga dunia asing berkunjung ke Alor dengan jumlah yang makin hari semakin banyak. Selama berwisata di Alor ternyata ada keinginan untuk berinvestasi lewat pulau-pulau indah atau tanah-tanah potensial nan strategis yang ada di Alor.
Penguasaan ini entah lewat jalur mengontrak tanah/pulau atau bila perlu “membeli putus” untuk dimiliki seutuhnya. Jika sekedar mengontrak pulau atau tanah dengan jangka waktu yang relatif singkat dan dengan harga yang fantastik mungkin masih bisa dipikirkan. Selain itu jika dapat menyerap tenaga kerja yang diambil dari warga pribumi. Lain halnya jika asing ingin “membeli putus” lahan tanah/pulau milik warga tentu ini tidak bisa diterima dan harus ditolak dengan tegas.
Hal ini sebagaimana beberapa hari yang lalu beberapa bule berkunjung ke Pulau Ternate dan menanyakan tanah milik beberapa warga yang persis berhadapan dengan laut. Benar bahwa tanah yang ditanyakan tersebut sangat strategis jika dibuat arena pariwisata dan tentu berpotensi mendulang keuntungan yang luar biasa.
Beberapa bulan yang lalu, ada orang asing yang beberapa kali berkunjung ke pondok kebun paman saya yang letaknya di seberang pulau Ternate tepatnya di sebelah kampung Sebanjar. Kebun tersebut sangat strategis karena terletak di bukit kecil dan berhadapan dengan laut dengan pemandangan pulau-pulau di seberangnya. Saya yakin tempat tersebut sangat layak dibangun vila pariwisata. Saya langsung bertemu beliau untuk memberikan pemahaman bahwa tanah yang dijadikan kebun telah memberi makan generasi kita selama bertahun-tahun bahkan hasil kebun tersebut sedikit tidaknya telah membantu membiayai pendidikan anak-anak kita.
Nilai tanah yang ditawarkan memang sangat tinggi namun akan cepat habis jika dibelanjakan, namun jika tidak dijual akan memberikan nafkah buat generasi kita dari masa ke masa. Akhirnya sang paman pun tidak jadi menjual tanahnya.
Saya yakin, banyak tempat indah di Alor akan juga menjadi bidikan mereka untuk dimiliki dengan modal yang besar.
Menghadapi modal besar adalah tantangan yang besar. Tapi harga diri bahwa kita bisa hidup tanpa menjual tanah-tanah kita terhadap asing adalah sebuah sikap yang dibutuhkan dari para pemilik tanah pribumi. Bukankah kita tidak mau terusir dari Negara kita sendiri? Kita tidak mau menjadi budak di kampung kita sendiri?. Alor memang sedang mengalami perubahan besar secara perlahan. Dahulunya penjajahan terhadap bangsa kita dilakukan secara fisik militer dan itu sangat nampak dan cepat disadari/dideteksi sehingga cepat atau lambat penjajah dapat diusir. Kini saya melihat kecenderungan menjajah lewat jalur non fisik seperti memiliki tanah secara perlahan dengan modal besar yang mereka punya. Jika tanah-tanah telah dibeli maka bagaimana mungkin mereka diusir.
Ada kekhawatiran dalam diri saya sebagai anak asli Pulau Ternate khususnya kampung Umapura bahwa jika mereka berhasil memiliki tanah di Pulau yang indah itu, maka beberapa kemungkinan bisa terjadi sebagaimana berikut :
Pertama, suatu saat nelayan-nelayan kami bisa saja tidak diizinkan untuk melaut/menangkap ikan di area yang mereka kuasai. Hal ini dapat menurunkan pendapatan masyarakat setempat. Selain itu membuktikan jatuhnya harga diri masyarakat karena menjadi tidak berdaya di kampung sendiri.
Kedua, bisa saja ini adalah intelejen asing yang sengaja ditempatkan di Indonesia di daerah-daerah terpencil dan perbatasan dengan modus berwisata di Indonesia. Hal ini harus diwaspadai pihak pemerintah terutama TNI sebagai penjaga utama Indonesia.
Ketiga, berita tentang masuknya narkoba dan obat terlarang berton-ton lewat pelabuhan-pelabuhan kecil dan pulau-pulau kecil bisa saja terjadi di daerah kita dengan dalih berwisata. Hal ini karena pelabuhan-pelabuhan besar dan bandara mendapat penjagaan yang ketat sehingga sulit jika diselundupkan. Untuk itulah lebih sulit diketahui jika diselundupkan lewat pulau-pulau kecil.
Keempat, terjadinya asimilasi budaya perlahan akan terjadi. Budaya barat yang tidak sesuai dengan karakter budaya bangsa kita akan diinjeksikan ke dalam karakter generasi kita. Transfer budaya lewat metode seperti ini akan membahayakan adat ketimuran yang selama ini dibanggakan. Saya begitu khawatir dengan serangan halus nan mematikan tanpa sadar yang efeknya sangat berbahaya bagi masa depan bangsa Indonesia.
Kelima, temuan beberapa benda-benda antik dan berharga dalam pasir maupun tanah beberapa waktu lalu oleh warga setidaknya membuka cakrwala kita bahwa jangan sampai ini juga menjadi tujuan asing untuk menggali benda-benda berharga tersebut yang tersimpan dalam pulau Ternate.
Bisa saja kekhawatiran saya dianggap terlalu berlebihan dan tidak mendukung kemajuan daerah ini dalam konteks globalisasi. Namun ini hanyalah pikiran reflektif yang kiranya menjadi pertimbangan berbagai pihak di daerah ini untuk tidak menjual sembarang tanah-tanah kita kepada asing karena akan menimbulkan penyesalan di waktu yang akan datang.
Sebaiknya kita sendirilah yang mengelolanya dibantu pemerintah untuk kebutuhan dan kepentingan sendiri jauh lebih baik dari menyerahkan kepada asing. Pemerintah sebaiknya ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang bahaya menjual tanah pada asing dan memberikan konsep kontrak tanah/pulau yang saling menguntungkan antara asing dan pribumi sehingga masyarakat tidak salah mengambil keputusan.
Pemerintah juga sebaiknya ikut menghambat proses kepemilikan tanah oleh asing jika dicurigai memiliki niat-niat yang kurang baik bagi daerah dan bangsa Indonesia. Kepada semua pihak anak daerah Alor, mari kita jaga kampung halaman kita agar tidak jatuh ke tangan asing. Sodara-sodara… Tanah NKRI adalah harga mati untuk pribumi.