Malam ini ketika matahari telah kembali memenuhi janji untuk terbenam, Malang Raya kembali tersentak dengan berita yang hampir ramai membicarakan tentang resminya salah satu pemimpin tertinggi kawasan Malang Raya menggunakan rompi orange yang posenya diambil dirimba Jakarta Raya. Tentu rompi warna orange yang dimaksud bukan simbol warna kebanggaan klub sepak bola Persija Jakarta, tapi lebih tepatnya itu adalah warna rompi termahal di Indonesia yang syarat memakainya harus menilap uang jutaan bahkan milyaran rupiah dulu.
Dengan berita tadi pagi ini, lengkap sudah tiga raja besar Malang Raya di periode kemarin jadi mangsa KPK. Berita tentang korupsinya Kepala Daerah mungkin beberapa tahun terakhir ini menjadi hal yang sering sekali terjadi, bahkan rakyat seakan sudah terbiasa dan bahkan bosan dengan berita yang tak lagi menimbulkan decak kagum bahkan kaget itu.
Pada tulisan ini, penulis bukan ingin membesarkan fenomena amoral yang sudah kadung biasa itu, tapi penulis ingin menyoroti daerah tempat ketiga raja besar ini berkuasa, kawasan Malang Raya. Seperti yang kita ketahui, Malang adalah salah satu daerah pendidikan terbesar di Indonesia, puluhan kampus berdiri kokoh, ratusan ribu sarjana tiap tahun dilahirkan ditempat itu, tempat dimana lebih sulit mencari petani daripada mencari pakar intelektual.
Dalam era globalisasi dan kecanggihan teknologi ini, rakyat dipaksa semakin cerdas dalam berbagai hal, apalagi hal-hal yang menyangkut hajat hidupnya. Pembicaraan tentang kinerja pemerintah bukan lagi hanya menjadi pembicaraan para elit kaum intelektual saja. Rakyat kecil sekarang pun sudah punya kepandaian mempresentasikan bagaimana gambaran ideal kinerja pemerintah yang baik lagi membaikkan, yang benar lagi membenarkan. Semua sistem pemerintahan sudah bisa diakses dengan mudah dan dijamin undang- undang. Sungguh pekerjaan pengontrolan bukan lagi pekerjaan sulit nan menyeramkan khas gaya otoriter Orba.
Kondisi yang sudah menguntungkan masyarakat biasa itu, agak sulit membenarkan bagaimana logikanya, tempat di mana lumbung intelektual berkumpul seperti Malang Raya bisa bertahun-tahun kecolongan terhadap fakta, bahwa tempatnya itu sedang terjadi pesta pora elit kotor yang sedang menjarah uang rakyat. Atau jangan-jangan keadaannya kita tidak tertipu. Tapi kita sedang merawat “pembiaran” terhadap jenis kejahatan itu dalam waktu yang relatif panjang, sampai pada akhirnya kebenaran itu menjadi terbuka karena adanya pertarungan politik elit yang menyebabkan terbukanya aib segelintir penguasa atas nama kepentingan dan kekuasaan, dan kita seolah-olah kaget dan mencoba mencuci tangan dari jenis perbuatan yang secara hukum negara maupun agama kita juga sebenarnya terfonis bersalah karena memilih diam. Karena mendiami kesalahan adalah sebuah bentuk kejahatan, maka bangkitlah kader Himpunan.
Yang lebih ingin penulis sorot juga adalah “kemana perginya para aktivis mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai agen pengontrol sosial” dalam kasus ini penulis lebih ingin fokus kepada organisasi yang penulis lahir didalamnya, yakni HMI. Tulisan ini bukan penulis buat untuk menyelamatkan diri sendiri sebagai salah seorang kader. Tapi tulisan ini dibuat untuk mencoba menyadarkan kita semua, bahwa tragedi ini adalah tamparan keras buat himpunan ini, bahwa sudah sejauh mana kita pergi dari tugas dan fungsi kita. Institusi kita HMI Cabang Malang adalah salah satu lembaga besar daerah ini. Kita secara sadar dan ikhlas berikrar turut berpartisipasi demi terwujudnya penyelenggaraan yang bersih dan adil. Model perkaderan kita memberikan kita fasilitas cara bagaimana kita harus ambil bagian dalam terwujudnya masyarakat adil makmur, bahkan bila itu harus turun ke jalanan sambil berpanas-panasan, meneriakan hidup rakyat, dan saling dorong dengan aparat itu hal biasa. Water canon, gas air mata, atau bahkan besi sekali pun, sebagai kader Himpunan tidak gentar dengan hal seperti itu. Kita kader HMI Cabang Malang yang tak kenal sopan santun atas kekuasaan yang semena-mena. Tirani bertebaran dimana-mana, maka keadilan pun tidak ada. Lantas kader Himpunan akan tetap seperti ini ?
Jika hari ini ada fakta yang memalukan seperti ini, harusnya kita semua bisa duduk bersama merenung, bahwa kehadiran HMI Cabang Malang selama ini sudah tidak mampu menolong banyak hal tentang penyelenggaraan kehidupan yang lebih baik. Dalam Himpunan ini kita diajarkan untuk sensitive terhadap hal-hal yang ganjal, di Himpunan ini kita diajarkan untuk bersikap kritis terhadap segala bentuk kecurangan, bahkan di Himpunan ini kita dipahamkan bahwa tugas panggilan sebagai kaum intelektual adalah hadir sebagai penyambung lidah rakyat. Mendiam diri dalam suatu kamar kos dan membaca berbagai buku gerakan kiri dan kanan, tentu ini bukan momennya lagi. Momen yang tepat adalah menutup lembaran buku tersebut lalu mengaplikasikannya di jalanan.
Maka dari tragedi memilukan ini, mari bukan hanya kita mencaci perilaku curang elit itu, tapi sesekali juga harus kita tegur diri dan Himpunan tercinta ini, untuk kembali memperjelas posisi kita sebagai suatu kawah candradimuka tempat para intelektual muda yang cerdas, kritis, terdidik, dan dibesarkan untuk menjadi kabar baik bagi rakyat yang tercurangi dan sekaligus menjadi kabar buruk bagi penguasa yang curang atau bahkan sebagai tanda bahaya bagi calon pelaku kecurangan lainnya.
Semoga ini bisa menjadi cambuk bagi kita semua, untuk kembali bangkit dan memahami bahwa PR utama kita masih sangat banyak, disamping kita harus terus menerus melahirkan para insan cita, disaat yang sama keberadaan Himpunan ini juga harus terus bermanfaat bagi seluruh elemen yang ada disekitar kita. Mari duduk melingkar bersama lagi dan menikmati isapan rokok dan seduhan kopi hitam sembari kita melakukan konsolidssi akbar dalam menumbangkan tirani. Kita satukan lagi langkah dan gerak ini, kita mewahkan lagi analisis intelektual kita, mari pertajam lagi bambu runcing gerakan Himpunan kita, dan pastinya tetap meneguhkan Gentle-Adab HMI.
Panjang Umur Perkaderan
Panjang Umur Pergerakan
Panjang Umur Pembangkangan
Yakin Usaha Sampai
Jayalah Kohati
Bahagia HMI