Oleh : Fictera Margareta
Ilmu Pemerintahan UMM 2018
Menitik pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia, dari masa colonial hingga terusirnya Jepang sebagai penjajah secara fisik yang terakhir dalam mendiami bangsa ini hingga sampai pada terbentuknya BPUPKI. Dalam sidang atau rapat (musyawarah) BPUPKI, para pendiri bangsa (foundhing fathers) berdiskusi tentang bentuk negara Indonesia. Ada beberapa memilih feodal, dan beberapa memilih republik. Termasuk Soekarno. Melihat latar belakang masyarakat Indonesia (Hindia Belanda) yang secara sosio-cultural, adat, maupun system kepercayaan yang sangat bercorak dan beragam, maka Soekarno memutuskan dengan tegas bahwa untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang seperti dicita-citakan oleh Pancasila, negara ini harus berbentuk kesatuan. Konsep kesatuan dan persatuan menjadi salah satu landasan Negara sebagaimana termuat dalam UUD dan Pancasila.
Bentuk Negara dan system yang tertuang dalam pancasila dan UUD saat ini memang terlihat sangat jauh dan bahkan tidak tidak mendekati terwujud. Semenjak 1965 sewaktu Soekarno diruntuhkan, Soeharto naik dengan otoritariannya demi mengamankan knondisi Negara yang sedang tidak stabil. Politik identitas dan konflik etnis di mulai dari situ. Pengaruh atau sebab konflik ethnis structural dan geografis dimulai dari sana.
Dewasa ini, perlu di kaji kembali sebagai pertanyaan kita bersama tentang konsep Demokrasi yang selama ini kita anut. jika melihat kondisi Indonesia sekarang ini jelas bertentangan dengan konsep Demokrasi dan Politik Identitas yang dimainkan oleh elit-elit Negara yang segalanya akan berujung pada konflik ethnis sebagai pengancam runtuhnya kesatuan dan persatuan bangsa.
Politik identitas tidak hanya dimainkan tindakan atau kebijakan-kebijakan ‘bagi-bagi jabatan’, tetapi dalam kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan publik yang di janjikan oleh konstitusi. Mulai dari konsep paling mendasar soal kebutuhan manusia. Ekonomi dan pendidikan. Permainan atau perputaran ekonomi tidak merata, pendidikan dan pembangunan yang terlalu sentralistik adalah bukti riil dari politik identitas yang berujung pada konflik ethnis yang tentunya sangat mengancam NKRI. Dari sini terlihat jelas bahwa konflik ethnis, itu bermula dari garis atas ke bawah, dan bukan dari bawah ke atas, penyebab struktuasi sangat Nampak dan tidak bisa di nafikkan. Politik identitas, melahirkan konflik ethnis atau rasisme. Setiap warga Negara tidak lagi nasionalis, tiap-tiap mereka egosentris dan ikatan primodial sangat melekat.
Hal-hal sepert inilah yang memicu wilayah-wilayah di Indonesia Timur, seperti Papua dan Maluku yang karena politik Identitas, daerah tersebut di jadikan sebagai laboraturium konflik. Belum juga soal-menyoal gerakan-gerakan separatism OPM dan RMS yang sangat mengacncam keutuhan NKRI. Gerakan-gerakan ini timbul, karena konflik ethnis yang lahirkan dari politik identitas struktutural Negara. Politik identitas melahirkan konflik ethnis, konflik ethnis menciptakan rasisme setiap warga Negara yang pada pundaknya tidak lagi memikul soal Bhineka Tunggal Ika sebagai filosofi yang sangat mendalam soal perbedaan yang disatukan dengan Pancasila. Tiap-tiap kelompok tertentu saling beradu kekuatan, baik fisik maupun politik dengan mengatasnamakan ethnis dan ikatan primodial tertentu. Jelas bahwa dalam hal ini konflik ethnis sangat berbahaya dan mengancam keutuhan NKRI.
Maka dari itu, singkat penulis bergagasan bahwa, sebab seribu-satu permasalahan bangsa adalah tanggung jawab dari dua subjek. Yang tidak lain adalah pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harusnya menghilangkan ‘politik identitas’ dan mengembalikan politik sebagimana hakikatnya. Pemerintah harusnya berdiri sebagai pengatur dan pemberi yang baik kepada warga Negara atau rakyat. Pemerintah harusnya menjadi ayah yang baik juga adil bagi anak-anak, sehingga konsep equality atau semua warga Negara di anggap sama bisa terwujud. Hal ini sepadan dengan apa yang diinginkan Roessuea untuk menegakkan kedaulatan rakyat. Kita biasa menyebutnya Demokrasi. Disisi lain, masyarakat harusnya tidak diam dan ikut andil memanfaatkan haknya sebagai pemegang kedaulatan. Artinya perlu kematangan pemahaman yang utuh soal konsep bernegara dan berdemokrasi. Penanaman nilai dan jiwa ideologis akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan masyarakat. Politik harus dimaknai sebagai cara mewujudkan kepentingan dan kemanfaatan bersama, sebagai rakyat, sebagai warga Negara republic Indonesia. Bukan berdasarkan kepentingan ethnis, golongan, atau kelompok tertentu.