Gelombang demonstrasi yang marak terjadi di berbagai wilayah merupakan aksi protes dari aliansi mahasiswa dan masyarakat terhadap agenda pengesahan RUU HIP dan omnibus law (cipta kerja) yang dinilai tidak pro rakyat.
Habermas (1982) dalam teori deliberatif menjelaskan bahwa dalam demokrasi kedaulatan yang tertinggi ada pada rakyat, sehingga sebelum pemerintah memutuskan sebuah kebijakan terlebih dahulu membuka ruang partisipasi atau diskursus publik yang luas bagi warga negara.
Wakil rakyat seharusnya mengedepankan kepentingan dan menyerap terlebih dahulu aspirasi masyarakat di tengah terpuruknya kondisi bangsa akibat Pandemi Covid-19 sebelum memutuskan sebuah kebijakan. Menurut Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah) mengatakan bahwa, “seperti seolah-olah ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ini sesuatu yang tidak seharusnya terjadi (tribunnews.com, 2020)”. Begitupun kebijakan pada saat awal Pandemi Covid-19 yang tumpang tindih antara kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang meresahkan masyarakat, seperti regulasi Social Distancing/PSBB, PHK besar-besaran, sistem pendidikan dan transparansi anggaran dana Covid-19. Proses pengambilan kebijakan tidaklah lepas dari peran partai politik yang kadernya terpilih menjadi wakil rakyat (eksekutif dan legislatif) melalui pemilihan umum. Hal tersebut jauh dari semangat demokrasi maupun tujuan dari partai politik yang tertuang dalam UU No. 2 tahun 2011 yaitu untuk memperjuangkan serta membela kepentingan rakyat berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
“Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide dan membumikan ide (Ir. Soekarno)”. Akan tetapi realita yang terjadi adalah sebaliknya, bukan ideologi dan ide yang menjadi nafas gerak dalam agenda politik, melainkan pragmatisme dan mempertontonkan oligarki. Penyebab kegaduhan kebijakan yang terjadi pada tataran elit disebabkan Karena adanya conflict of interest (konflik kepentingan) dan penempatan pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Menurut pakar ilmu politik Prof. Ramlan Surbakti (2020) telah terjadi tragedi legislatif yaitu calon kepala daerah atau anggota lagislatif yang terpilih bukanlah kader asli, namun dari kalangan pengusaha dan artis yang populer, sehingga kaderisasi partai politik mengalami disorientasi. Kaderisasi tidak berorientasi pada peningkatan kualitas kaderisasi secara berkelanjutan akan tetapi pada power seeking. Terbukti pada pemilu legislatif DPR RI tahun 2019 terdapat sebanyak 14 artis pesohor Indonesia yang berhasil lolos ke parlemen (Kompas.com, 2019). Fenomena tersebut secara tidak langsung mematikan proses kaderisasi partai politik karena yang mendapatkan karpet merah adalah mereka yang punya modal besar dan popularitas, belum lagi ada sebagian masyarakat yang hanya menilai calon wakil rakyat dari NPWP (Nomer Piro Wani Piro) menambah peluang money politik dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil rakyat. Sehingga, hemat penulis perlu dilakukan reformasi sistem partai politik dan menjadi prioritas utama pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan demi perbaikan nasib bangsa ke depan.
Dosen FISIP Universitas Indonesia Wardani (2020) mengatakan bahwa reformasi partai politik dapat dimulai dari beberapa aspek penting yaitu, melakukan penataan sistem partai politik, menata pola kaderisasi (mekanisme internal), koneksi yang kuat antara unsur sistem (sistem kepartaian – sistem pemilu – sistem pemerintahan – sistem perwakilan politik) dan partisipasi politik masyarakat dalam mengawasi perilaku dan kinerja partai politik.
Partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci sukses dalam pemilihan wakil rakyat, mengingat hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara selama pemerintahan Jokowi-JK, partai politik berada pada posisi terendah (katadata.co.id, 2019). Oleh karena itu, partai politik harus segera berbenah agar memperbaiki sistem kelembagaan partai politik yang akan berdampak baik pada kualitas kaderisasi, mencetak kader umat dan kader bangsa serta memiliki track record yang jelas (bukan karbitan) sehingga dapat mengembalikan citra dan kepercayaan publik terhadap partai politik.