Indonesia sedang gaduh, pemerintah gelisah karena sekelompok pemuda merasa resah atas tingkahnya. Rekonsiliasi terjalin sempurna pasca kontestasi politik 2019, seolah satu persepsi sehingga yang dulu oposisi justru sekarang tidak berani mengkritisi terutama yang berada di lembaga legislatif seperti DPR. Meski ada kejadian yang mengharukan seperti kebakaran hutan, kasus Papua, HAM dll, mereka diam. Bahkan dalam hal lain seperti RUU KUHP, KPK dan PKS mereka menyetujui. Tidak tahu apakah mimang betul sepaham dan sepakat atau itu hanya sebatas jebakan.
Cuma meski demikian sangat beruntung Indonesia tidak krisis kaum pemuda yang masih punya idealisme dan nalar kritis.
Pemuda Indonesia siap menjadi oposisi dari pemerintah, meski sebelum-sebelumnya sempat ada stigma yang berkembang bahwa kalau pemuda Indonesia sudah tumpul idealismenya dan nalar kritisnya. Tapi beberapa minggu terakhir sudah bisa kita buktikan bahwa reformasi akan kita ulang.
Namun dengan upaya pemuda menjadi oposisi dan mengkritisi, tidak jarang saat ini terjadi tindakan represif yang di lakukan oleh pemerintah terhadap kita.
Media dibungkam, para Rektor yang di ancam oleh MINRISTEKDIKTI karena mengizinkan Mahasiswa untuk turun jalan, Mahasiswa yang di pukul bahkan sampai terjadi penembakan, teror terhadap salah satu KORPUS aliansi Mahasiswa. Apakah ini negara demokrasi? Hah, Mungkin cukup tersebyum dan menganalisis bahwa corak dan bibit otoriterisme kembali hidup.
Sedikit bercerita tentang Hatta dua bulan pasca di tunjuk sebagai wakil presiden pertama di Indonesia. Saat itu Hatta mengeluarkan Maklumat X pada tanggal 16 Oktober 1945 salah satunya berisi pemberian kekuasaan legislatif terhadap KNIP, sekaligus membentuk pekerjanya. Karena waktu itu masih belum ada MPR dan DPR, tujuannya agar rakyat tetap berdaulat, maka harus ada badan yang ikut bertanggung jawab terhadap nasib bangsa Indonesia selain eksekutif.
Waktu itu Hatta melihat tanpa kontrol lembaga legislatif, terutama yang menyusun garis-garis besar haluan, pemerintah akan berjalan secara absolut, karena kekuasaan terkonsentrasi pada lembaga eksekutif. Dan pandangan Hatta ini tentang kekuasaan sama dengan adagium Lord Acton, yakni kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut niscaya korupnya absolut pula (Adnan Buyung ; Demokrasi Konstitusional) Semoga ini tidak terjadi.
Dari sedikit cerita ini mungkin kita bisa berpikir seketika kenapa dan untuk siapa pada akhirnya lembaga legislatif itu di buat, yaitu untuk kedaulatan rakyat dan menjamin kehidupan rakyat dari semua aspek dengan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif agar tidak terjadi praktik kekuasaan yang absolut, dan korup.
Betapa besarnya cita-cita Hatta untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, memuliakan rakyatnya dengan cara kedaulatan, bersih dari segala praktik yang sekiranya merugikan rakyat dan negara.
Kemudian melalui maklumat 3 November 1946 Hatta juga menghendaki berdirinya partai-partai politik. Hatta tidak ingin hanya ada satu wadah karena Hatta menginginkan partisipasi yang luas dari masyarakat. Tidak mungkin ada penyeragaman aspirasi karena jika hal itu di lakukan akan terjadi totaliterisme. Betapa demokratisnya dan betapa tingginya HAM pada waktu itu. Nah, saya rasa karakter inilah yang saat ini hilang dalam jiwa DPR dan pemerintah.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana jadinya kalau misalkan lembaga yang punya fungsi kontrol terhadap lembaga eksekutif, untuk melerai segala kemungkinan yang akan membuat rakyat dan negara ini merugi. Bukan justru bertindak semaunya bahkan seakan berteduh di bawak ketiak lembaga eksekutif dan ada indikasi kongkalikong. Padahal ada nurani rakyat yang perlu di perhatikan dan di pikirkan sebagai bahan acuan dan pertimbangannya. Mungkin pertanyaan ini bisa kita jawab sendiri-sendiri.
Demokrasi bukan hanya sebatas jalan menuju kekuasaan, korupsi bukti kemerosotan mural, kebakaran hutan adalah kembang api buatan penguasa, kasus Papua bukti ke tidak mampuan pemerintah dalam memahami kebinekaan. Kembalikan Indonesia kepada keadilan, kapan kita mendengar berita kebahagiaan.
*Penulis adalah Muhlas, kader HMI Cabang Pamekasan. Ia juga pernah menjabat sebagai Presiden Mahasiswa (Presma) di kampus Universitas Madura Periode 2018-2019