Oleh: Rahmatia Lang Ere (Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Tinggi UGM)
Laporan yang dirilis Webometrics pada Januari 2017 terkait ranking universitas secara global, menempatkan 3 universitas besar di Indonesia yakni Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) masing-masing pada rangking 817, 861, dan 987. Sedangkan data dari QS University Rankings: Asia 2016, UI mendapat rangking 67, ITB rangking 86, dan UGM rangking 105. Meskipun rangking dan pemeringkatan tidak mampu menunjukkan segalanya tentang kualitas, namun dengan perangkingan ini bisa dikira-kira kualitas pendidikan tinggi Indonesia dibanding negara lain. Fakta menarik bahwa di Indonesia, ITB, UGM dan UI merupakan perguruan tinggi dengan akreditasi A dan termasuk dalam 3 besar PTN kelompok 1 (PTN Mandiri) berdasarkan pemeringkatan oleh Kemenristekdikti.
Perguruan tinggi terbaik di Indonesia saja masih kalah dalam hal peringkat dengan beberapa perguruan tinggi di Singapura, negara yang lebih muda 20 tahun dari Indonesia. Lantas, bagaimana dengan kualitas ribuan perguruan tinggi di Indonesia lainnya? Laporan Kemenristekdikti 2015 menyebutkan bahwa ada 240 perguruan tinggi terakreditasi B, 586 terakreditasi C, dan sisanya 3.422 belum terakreditasi. Ditambah lagi, masih banyaknya ‘kuliah siluman’ di sekitar kita. Selama 2016, Kemenristekdikti menutup 140 perguruan tinggi ‘abal-abal’. Menurut Menristekdikti, perguruan tinggi tersebut mempunyai izin tetapi tidak mengikuti proses pelajaran yang benar. Selain itu tidak ada perkuliahan namun mengeluarkan ijazah (kompas.com – 10/03/2017).
Jumlah perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan data dari PD DIKTI mencapai 4.506, sedangkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 255 juta jiwa. Dibandingkan dengan China yang jumlah penduduknya 1,4 miliyar sementara perguruan tingginya hanya 2.824. Namun, perguruan tinggi di China yang masuk 500 peringkat dunia mencapai belasan. Adakah yang salah dengan kuantitas ini
Penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional, meskipun pada hari ini pendidikan tinggi sudah tidak bernaung di dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa tujuan pendidikan tinggi bukan hanya berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Tujuan pendidikan tinggi juga dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.
Mampukah tujuan tersebut dicapai dengan kualitas pendidikan tinggi Indonesia yang ada hari ini? Pertanyaan ini muncul ketika melihat kenyataan bahwa masih banyak lulusan pendidikan tinggi yang belum mampu menggunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk memenuhi kepentingan nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pengangguran sarjana di Indonesia meningkat dari 653.586 pada Agustus 2015 menjadi 695.304 orang pada Februari 2016. Sedangkan jumlah pengangguran diploma mencapai angka 249.362 orang.
Meskipun angka pengangguran sarjana begitu tinggi, namun menurut Riset Willis Tower Watson Indonesia, 8 dari 10 perusahaan di Indonesia, mengaku kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Menurut Lilis Hakim, Consultant Director Willis Tower Watson Indonesia, salah satu penyebab lulusan perguruan tinggi di Indonesia sulit mendapat pekerjaan adalah belum memiliki skill yang dibutuhkan perusahaan. Riset dari National Association of Colleges and Employers (NACE) pada 2015, misalnya, mendapati 70,2% dari 201 manajer yang menjadi respondennya mengaku mencari calon karyawan dengan mempertimbangkan kemampuan komunikasi tulisan. Riset NACE juga mendapati, sekitar 80,1% responden mencari kandidat yang memiliki kemampuan kepemimpinan, dan 78,9% responden mengutamakan keterampilan calon karyawan untuk bekerja dalam tim (kompas.com – 25/11/2016).
Skill yang dibutuhkan oleh dunia kerja dari para lulusan harus dapat ditanggapi dengan baik oleh perguruan tinggi. Kurikulum pendidikan tinggi sendiri sebenarnya sudah didesain untuk menghadapi hal ini, ada kegiatan kurikuler, kokurikuler, serta ekstra kurikuler. Tinggal bagaimana perguruan tinggi mampu menyediakan konten yang sesuai dengan kebutuhan hari ini, serta bagaimana mahasiswa mensinergikan ketiga kegiatan tersebut
Dalam Laporan Indeks Daya Saing WEF 2016-2017, peringkat daya saing Indonesia turun dari peringkat 37 menjadi peringkat 41 dengan skor yang tetap (4,52). Posisi Indonesia ini tidak lebih baik dibandingkan dengan negara tetangganya di Asia Tenggara, seperti Thailand (peringkat 34), Malaysia (peringkat 25), dan Singapura (peringkat 2). Dua di antara 12 indikator indeks daya saing ini yakni pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.
Salah satu hal yang dapat dijadikan pelajaran untuk kita semua dari angka-angka di atas adalah bahwa pendidikan bukanlah momen, yang hanya diingat, diselamati, dipikirkan dan menjadi bahan perbincangan ketika tiba Hari Pendidikan Nasional. Jika hari ini kita masih terus berkutat dengan perdebatan mengenai acuan Hardiknas sebaiknya Ki Hadjar Dewantara atau tokoh lainnya, kapan kita bisa menciptakan sendiri teknologi untuk sampai ke bulan. Jika energi kita terkuras habis untuk memperdebatkan masalah politik bangsa yang begitu runyam, kapan kualitas pendidikan kita bisa ditingkatkan.
Pendidikan adalah sebuah proses. Bukan sekedar proses mempersiapkan kehidupan, tetapi menurut John Dewey, education is life itself. Tugas kitas semua, sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa, untuk terus dan terus berusaha dengan cara dan dari posisi kita masing-masing memperbaiki kualitas pendidikan nasional, baik pendidikan dasar dan menengah maupun pendidikan tinggi, baik pendidikan formal maupun informal. Bahwa pendidikan tidak hanya melulu soal sekolah dan perguruan tinggi, karena sumber dan proses belajar tidak semuanya berasal dari dan berada di sana.
Bagi kita yang berprofesi sebagai pendidik, jadilah pendidik yang memiliki visi mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan pendidik yang sekedar mencari sesuap nasi dari lembaga pendidikan. Menjadi pendidik merupakan sebuah tugas yang berat. Salah didikan, maka satu generasi kita hancurkan. Meskipun hari ini, pendidikan kita terlihat kalah saing dengan Malaysia, negara tetangga yang dulu mengirimkan guru-gurunya untuk belajar ke Indonesia, namun kita harus tetap optimis. Malaysia yang dulu berada di bawah kita hari ini sudah naik ke atas, artinya tidak peduli keadaan kita hari ini bagaimana, asalkan kita terus belajar dan berusaha, selagi bumi masih tetap bulat, kita yang sekarang berada di bawah masih bisa naik ke atas.